Studio desain Robbert De Goede mengubah bekas gedung olahraga tua di Belanda menjadi hunian yang keren dan terlihat sangat nyaman. Pemiliknya adalah keluarga beranggotakan empat orang yang digambarkan sebagai orang-orang yang rendah hati. Itu sebabnya sang desainer merancang interior sesuai karakter mereka, ruang hidup yang luas dan mewah, namun tidak norak.
Detail-detail dari kayu dan baja bercat hitam mendominasi hunian yang diberi nama The Gymnasium ini. Lokasinya dekat pusat kota Amsterdam, kota yang sama tempat Studio desain Robbert De Goede berada. Jauh mundur ke belakang, sekitar tahun 50-an, bangunan ini adalah biara. Baru pada tahun 80-an berubah menjadi gedung olahraga.
Kemudian gedung ini terbengkalai selama beberapa tahun. Robert dan pemilik lama melakukan peremajaan pondasi dan jendela-jendela bangunan. Termasuk membuka ceiling hingga mengekspos tiang-tiang baja yang menopang atap bangunan, membuat ruang terasa lebih luas.

Ia lalu membuat gambar rancangan rumah ini, seandainya ada orang yang tertarik untuk membelinya, karena sulit bagi orang awam untuk membayangkan tempat ini bisa ditinggali jika hanya melihat ruang kosong. Kemudian datanglah pasangan yang jatuh cinta dengan desain Robert. Mereka memutuskan untuk meminta Robert mewujudkannya, tentu dengan beberapa penyesuaian.
Klien tersebut adalah pasangan pengusaha pemilik sebuah jenama busana dan dokter anak. Untuk menghasilkan interior seperti karakter mereka tadi, Robbert De Goede memilih pendekatan desain industrial dan sentuhan personal penghuni sebagai penyelesaian akhirnya.

Layout interior hunian ini sangat terbuka, memanfaatkan kondisi aslinya yang berupa ruang luas bebas kolom. The Gymnasium juga dirancang untuk hemat energi dengan adanya 10 skylight di atap yang menjadi jalan cahaya alami membanjiri seluruh ruangan. Tidak perlu lagi cahaya lampu di siang hari, kecuali untuk keperluan pemotretan seperti pada foto.

Salah satu fitur baru yang dibuat pada awal renovasi adalah pondasi dengan tiang sepanjang 18 meter yang berisi sistem pertukaran udara panas untuk membantu mengkondisikan suhu terbaik bagi ruangan. Fitur tersebut berpadu dengan empat puluh empat panel surya di atap bangunan untuk mengurangi jejak karbon bangunan ini.
Ruang-ruang utama seperti dapur, living room, dan ruang makan, berada di lantai dasar. Karena tidak ada dinding, batasan-batasan ruangnya adalah karpet atau furnitur-furnitur itu sendiri.


Ada satu living room lagi di lantai ini, namun posisinya agak lebih tinggi dari lantai dasar. Rupanya Robert meninggikan lantai living room ini untuk menambah ketinggian atap rubanah di bawahnya yang sebelumnya hanya 1,2 meter. Setelah ditinggikan, rubanah jadi lebih berguna sehingga bisa diisi dengan ruang olahraga, sauna dan ruang-ruang utilitas untuk operasional rumah seperti AHU, kelistrikan, air, dan lainnya.


Area penghuni berada di lantai atas, di sekeliling dinding bangunan, sehingga membentuk void besar di tengah bangunan. Tangga baja lebar diposisikan di tengah-tengah void agar tercipta jarak dengan ruang-ruang di sekelilingnya, sehingga terbentuk area-area penghuni seperti ruang duduk, ruang baca, dan home cinema, yang lebih tenang dan intim. Di lantai mezzanine ini juga tempat tiga kamar tidur dan dua kamar mandi. Satu kamar dilengkapi dengan walk-in wardrobe.



Penyelesaian akhir pada interior The Gymnasium mendapatkan karakternya dari kombinasi beragam jenis kayu yang digunakan. Empat kolom kayu besar menopang setiap sudut void. Countertop di dapur terbuat dari kayu Larch. Sementara bagian bawah lantai mezzanine menggunakan kayu Oak tanpa finishing. Railing tangga dibuat dari kayu Cedar Kuning dengan konsep bentuk meniru Sugikodama, karya seni buatan Shimpei Arima, yang sangat nyaman dipegang.

Lampu-lampu dengan bentuk indah dari Delta Light, Bocci, dan Tom Dixon memberi lebih dari sekadar penerangan pada interior, mereka menjadi elemen dekorasi yang berkelas. Sebagaimana furnitur-furnitur dari Stella Works, Flexform dan Lucie Koldova, mampu menjadi focal point pada setiap penempatannya.

Leave a Reply