Kami bertemu Stefan Setiadi beberapa tahun lalu di kedai kopi miliknya. Stefan Setiadi adalah Q Grader yang bersama rekannya Niko Matias memulai Two Hands Full Coffee pada 2013 di Bandung. Stefan bercerita banyak hal yang ia tahu tentang kopi. Matanya tak lepas dari grafik yang bergerak-gerak di layar laptop. Sesekali ia menyeruput sample kopi dari beberapa cangkir yang ada di sampingnya, memastikan rasanya konsisten walau biji kopi tidak dipanggang bersamaan.
Anda sudah punya kedai kopi yang ramai pengunjung. Mengapa harus menjadi roaster juga?
Mimpi saya suatu saat nanti bisa membuat kopi berkualitas, enak, dan terjangkau untuk semua kalangan. Bukan eksklusif untuk para ahli kopi. Untuk itu saya harus tahu lebih dalam, memilih biji kopi terbaik dan mengolah dengan benar untuk mendapatkan rasa yang pas. Saya harus memahami industri ini dari hulu ke hilir.

Apa kabar terbaru dari hulu industri kopi?
Yang saya alami tahun ini (panen 2017), supply menurun dibanding tahun lalu, karena cuaca yang tidak menentu, banyak hujan, sehingga panen berkurang.
Bisa terjadi lagi di tahun berikutnya?
Bisa. Perubahan iklim global sangat berpengaruh ke industri kopi. Di Amerika, ada sebuah forum yang membahas masalah sustainability kopi. Perkiraan mereka, daerah
penghasil kopi Arabica akan berkurang 60-70 persen pada 2050. Karena suhu bumi terus naik, sementara kopi Arabica butuh suhu rendah. Dibanding Robusta, Arabica lebih rentan. Makin hangat suhunya, makin banyak penyakit yang bisa menyerang. Masih menurut forum tersebut, hasil kopi pada perkebunan 1.000 meter di atas permukaan laut akan menurun kualitasnya pada 2030. Artinya, kita akan sampai pada suatu titik tidak bisa lebih tinggi lagi.
Apakah di hulu juga mengenal adanya tren?
Saya baru pulang dari Aceh. Di sana saat ini sedang ramai soal agroforestry. Jadi kita menanam kopi di hutan sekaligus membantu melestarikannya. Dari pada penduduk membabat hutan untuk membuka lahan, agroforestry jauh lebih sustainable.

Anda membeli kopi langsung?
Hampir semua kopi Indonesia yang kami pakai berasal langsung dari kebun. Saya pergi sendiri ke tempat-tempat itu. Sangat menyenangkan. Saya bukan hanya dapat supplier, tapi juga keluarga baru. Kenal lebih banyak orang, bukan sekadar hubungan beli-putus. Kami lihat juga dia butuh apa untuk meningkatkan kualitas perkebunannya.
Bagaimana dengan kopi dari negara lain?
Bisa melalui trader dan beberapa kali juga kami langsung ke perkebunannya. Saya pernah berkeliling perkebunan di Brazil. Setelah yakin karena memastikan sendiri seluruh prosesnya, lalu saya beli kopi mereka sekitar 21 ton. Petani di sana lebih senang menjual kepada end-user seperti kami. Harga per kilogramnya bisa lebih rendah dibanding menjual kepada trader.
Bagaimana cara Anda menjaga kualitas kopi-kopi yang sangat beragam tersebut?
Karena itu kami memutuskan untuk roasting sendiri. Sebelumnya saya mengulik karakter setiap biji kopi yang baru saya dapat. Apa keunikannya, kekhasannya, juga kandungan-kandungan apa saja yang dimilikinya. Kemudian di-roasting sesuai kebutuhannya. Dengan bantuan software di komputer, kami bisa mencapai konsistensi kualitas yang sama walau waktu roasting tidak bersamaan. Bahkan kami juga mengunci variabel lain yang bisa mengubah kualitas dan rasa kopi, yaitu air. Kami punya garam mineral untuk dilarutkan dalam air yang dipakai. Jadi jika pelanggan kami di Jakarta membeli biji dan air dari Two Hands Full, maka rasa kopinya akan sama dengan yang mereka minum di sini.

Apa benar bisa terasa pengaruh perbedaan air dalam secangkir kopi?
Bisa. Karena kandungan mineral dalam air di setiap tempat berbeda-beda. Jadi reaksi yang ditimbulkan saat bertemu kopi juga berbeda.
Pasti ini hasil dari kuliah Anda dulu di teknik kimia bukan?
Ha-ha-ha… Saya tidak lulus waktu itu. Lalu saya mengambil jurusan manajemen. Tapi benar, saya suka chemistry dan itu membantu.
Shrsnya tayang kmrn nih biar pas sama uncle John….
LikeLike